KARINDING
Karinding adalah waditra karuhun Sunda, terbuat dari pelepah kawung
atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang dibuat menjadi tiga bagian, yaitu bagian
jarum tempat keluarnya nada (disebut cecet ucing), bagian untuk
digenggam, dan bagian panenggeul (pemukul). Jika bagian panenggeul
dipukul, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke rongga mulut,
maka akan menghasilkan bunyi yang khas. Bunyi tersebut bisa diatur tergantung
bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup buka kerongkongan, atau
hembusan dan tarikan napas. Tiga bagian ini merefleksikan juga nilai ,oral dan
ajaran yang terkandung dalam karinding, yaitu yakin, sadar, sabar. Dipegang
yang yakin, ditabuh yang sabar, dan jika sudah ada suara harus sadar jika itu
bukan suara kita.Secara kebahasaan, karinding berasal dari kata ka
dan rinding. Ka berarti sumber dan rinding berarti suara. Karinding merupakan
salah satu alat musik tiup tradisional Sunda. Ada
beberapa tempat yang biasa membuat karinding, seperti di lingkung Citamiang, Pasirmukti, (Tasikmalaya),
Lewo Malangbong,
(Garut), dan
Cikalongkulon (Cianjur)
yang dibuat dari pelepah kawung (enau). Di Limbangan dan Cililin karinding dibujat dari
bambu, dan yang
menggunakannya adalah para perempuan, dilihat dari bentuknya saperti tusuk biar mudah
ditusukan di sanggul rambut. Dann bahan enau kebanyakan dipakai oleh lelaki,
bentuknya lebih pendek biar bisa diselipkan dalam wadah rokok. Bentuk karinding
ada tiga ruas.
Berikut adalah beberapa
definisi karinding yang telah dirumuskan,
1.
Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat (1977:75)
menyebutkan, “karinding merupakan alat musik yang terbuat dari pelepah kawung
atau bambu, cara memainkannya dipegang oleh tangan kiri, ditempelkan ke mulut.
Dalam hal ini mulut sebagai resonator dan pengatur tinggi rendahnya nada.
Pangkal karinding dekat mulut dipukul-pukul oleh jari tangan kanan untuk
menggetarkan lidah getarnya (cecet ucing), sehingga terdengarlah suara alat
musik tersebut.”
2.
Enoch Atmadibrata dkk (2006:114) menyebutkan, ”alat musik bernama karinding ini
berbentuk lempenga kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa dengan
cara mengiris bagain tengahnya sehigga terlihat menjulur seperti lidah, yang
apabila dipukul akan bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras dan
mengatur tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga
mulut yang berfungsi sebagai resonator.”
3.
R. A. Danadibrata (2006:322) menyebutkan, “Karinding ialah nama alat pukul yang
terbut dari bahan mabu atau palapah kawung yang sangat tipis; karinding
dibunyikan dengan cara ditempekan ke bibir atas dan bawah seperti argol (alat
musik yang berbunyi bila ditiup dan dihisap sambil digeser-geser di antara
bibir atas dan bawah seperti makan jagung, sama seperti karinding dan
harmonica) dan suara yang dihasilkan dari hisapan dan hembusan rongga mulut;
untuk menghasilkan tinggi rendahnya nada ketika karinding sedang bergetar lidah
getarnya karena hisapan tau hembusan mulut, ujung karinding sebelah kanan
dipukul pelan supaya bergetarnya cepat atau lambat.”
4.
Ensiklopedia Sunda menyebutkan, “Karinding adalah alat bunyi-bunyian dalam
karawitan Sunda yang dibuat dari pelepah arena tau bambu, dibunyikan dengan
pukulan jari tengah dengan rongga mulut sebagai resonator. Dahulu dipergunakan
sebagai sarana hiburan para penggembala kerbau atau biri-biri di
kampung-kampung. Di daerah Banten, karinding dipergunakan oleh remaja sebagai
alat komunikasi waktu mencari kekasih. Alat ini dibunyikan di serambi rumah
ketika sore hari saat bersantai setelah bekerja, para gadis yang mendengarnya
biasanya mendekati para si penabuh alat itu.”
5.
Buku Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat menyebutkan, “Karinding merupakan
alat kesenian yang terbuat dari pohon enau atau bambu. alat ini bentuknya kecil
namun bunyinya cukup nyaring. Selain nama alat, karinding juga merupakan nama
seni pertunjukan yang menggunakan waditra karinding. Alat musik berupa
karinding ini berbentuk lempengan kayu enau atau bambu yang dibentuk sedemikian
rupa dengan cara mengiris bagian tengahnya sehingga terlihat menjulur seperti
lidah. Apabila dipukul akan bergetar dan menimbulkan suara. Untuk memperkeras
dan mengatur tinggi rendahnya bunyi yang dihasilkan, yang diatur adalah rongga
mulutnya, yang berfungsi sebagai resonator.”
6.
Karinding memiliki dua alternatif bahan baku yaitu bambu dan pelepah pohon aren
atau kayu enau. Di Tasikmalaya, penyebutan karinding hanya digunakan kepada
karinding berbahan baku pelepah aren, sedangkan yang berbahan baku bambu
disebut kareng.
Saat ini penyebutkan kareng
jarang ditemui, mungkin karena factor kebiasaan pelafalan nama “karinding”.
Jaap Kunts dalam buku Music
in Java menebutkan, “Tasik
district the jew’s harp is called karinding only when cut from aren wood; when
made from bamboo it is there called kareng,” Penggunaan bahan
pelepah aren biasanya ada di Cianjur dan Tasikmalaya, sementara itu bahan bambu
biasanya di Ciwidey, Bandung, Garut, dan Sumedang.
Jenis bahan dan
jenis disain karinding menunjukan perbedaan usia, tempat, jenis kelamin
pemakai. Karinding yang menyerupai susuk sanggul dibuat untuk perempuan, sedang
yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, agar bisa
disimpan di tempat tembakau. Bahan juga menunjukkan tempat pembuatan karinding.
Di Priangan Timur, misalnya, karinding menggunakan bahan bambu. Di kawasan lain
di Indonesia, karinding disebut juga rinding (Yogyakarta), genggong
(Bali), dunga atau karindang (Kalimantan) atau alat sejenis
dengan bahan baja bernama jawharp di kawasan Nepal dan Eropa dan chang
di Cina dengan bahan kuningan. Selain ditabuh, karinding juga ada yang
dimainkan dengan cara dicolek atau disintir.
Sepertinya karinding mulai muncul antara zaman
pertanian dan zaman perundagian. Alat music ini biasa dimainkan orang-orang
sambil menunggui sawah atau ladang di hutan atau di bukit-bukit, saling
bersahutan antara bukit yang satu dan bukit lainnya. Alat ini bukan cuma
menjadi pengusir sepi tapi juga berfungsi mengusir hama. Suara yang dihasilkan
oleh karinding ternyata menghasilkan gelombang low decibel yang
menyakitkan hama sehingga mereka menjauhi ladang pertanian. Catatan tertua
tentang karinding ada di naskah Pendakian Sri Ajnyana yang diperkirakan
ditulis abad ke-16. Dalam naskah itu dikisahkan karinding disimpan di palang
dada gedung keraton bidadari Puah Aci Kuning di kahyangan. Berikut adalah
cuplikan naskahnya,
Hurung subang di hulueun – Kacapi di kajuaran –
Kari(n)ding dip ago sanding – Giringsing di pagulingan – Deung ka(m)puh
pamarungkutan
(Terjemahan : Giwang bercahaya di ujung kepala –
Kecapi di dekat tempat tidur – Karinding di pago sanding (palang dada) –
Giringsing di atas tempat tidur – Dan selimut)
Di kalangan
rakyat umum, karinding adalah alat musik pertanian dan alat ritual yang
dimainkan dalam berbagai acara. Di kalangan para pemuda Tatar Sunda, karinding
populer sebagai alat musik pergaulan. Di Banten, karinding dimainkan sebagai
alat musik permainan anak-anak. Jejak karinding yang lebih kentara justru
datang dari Tasikmalaya. Kisah Kalamanda dan Sekarwangi yang bersatu berkat
karinding dan diyakini sebagai cerita rakyat asal mula karinding dibuat di
Cineam, atau kisah si playboy Ki Slenting di Cineam yang berakhir tragis,
memperkuat karinding sebagai seni pergaulan. Cineam sebagai salah satu pusat
seni karinding diperkuat dengan keberadaan Sekar Komara Sunda pimpinan Bah Oyon
Naroharjo dan Bah Karna yang telah mengeksplorasi karinding sejak tahun 1950an.
Pusat karinding lainnya tentu saja Parakan Muncang. Di
sini, karinding dimainkan dalam hajat-hajat hidup orang banyak, seperti hajat
lembur, hajar buruan, hajat ketika gerhana, hajat caang bulan, atau sekedar
permainan musik. Sosok sentral karinding Parakan Muncang masa kini tentu
saja adalah Bah Olot. Namun, ungkap Bah Olot, karinding sudah ramai di parakan
Muncang sejak zaman bapaknya Bah Entang, dan bahkan kakeknya, Bah Maja.
Keluarga Bah Olot memang sejak pembukaan Parakan Muncang dikenal sebagai
pengrajin alat-alat bambu dan karinding. Agaknya, dari Parakan Muncang,
kesenian ini terus berkembang ke Gunung Manglayang dan Ujungberung dengan
adanya kesaksian warga Gunung Manglayang yang sudah berusia 80an tahun, yang
menyebutkan jika karinding dan celempung di Gunung Manglayang adalah sering
dijadikan musik pengiring latihan pencak silat semasa ia kanak-kanak.
Tahun 1990an, karinding
mulai meruyak ke permukaan. Sejak eksplorasinya oleh musisi-musisi Indonesia
karinding terus dimainkan bersama musik-musik yang lebih populer. Nama-nama
besar dalam dunia musik seperti Chrisye dan Harry Roesli pernah memasukan suara
karinding dalam lagu-lagu yang mereka mainkan. Karinding juga mulai banyak
diteliliti oleh para akademisi, termasuk endokumentasian karinding Cineam
antara tahun 1999 hingga 2001 oleh Kabumi UPI pimpinan Ginanjar Saribanon,
kolaborasi Sekar Komara Sunda dengan Kabumi tahun 2002, hingga penciptaan
karinding double neck karya Bah Oyon. Karinding juga mengalami beberapa
pengembangan yang signifikan dengan diciptakannya karinding bernada diatonis
oleh Asep Nata. Upaya pengenalan karinding kepada khalayak luas juga terus dilakukan
oleh Dodong Kodir, Yoyo, dan Opa Felix.
Pertengahan
2000an, perkembangan karinding terutama dikawal oleh Abah Olot dari Parakan
Muncang. karindng di kawasan ini semakin menemukan bentuknya ketika berdiri
kelompok musik Giri Kerenceng tahun 2005 pimpinan Bah Olot. Di beberapa titik
di Kota Bandung, seni karinding semakin menghangat saja. Dua di antara titik
yang patut ditandai adalah karinding di komunitas Maman Dago dan Komunitas
Hong. Pada masa ini, melalui murid Abah Olot, Mang Engkus dan Mang Utun,
karinding mulai dikenal dan dimainkan di komunitas musik metal Ujungberung
Rebels.
Tahun 2008 musik karinding seperti mendapatkan momen
kebangkitannya. Disertai dengan bangkitnya kesadaran lokal di hampir seluruh
dunia, karinding tampil menjadi nilai kesadaran lokal baru di generasi muda
Sunda, terutama di kalangan musisi bawahtanah. Salah satu lokomotif utama
kebangkitan karinding tentu saja adalah Karinding Attack, kelompok musik yang
digawangi para pionir komunitas metal Ujungberung Rebels. Dengan slogan dan
manifestasi Sunda Underground Sunda Kiwari Nyanding Bihari, karinding
dikembangkan dengan sangat progresif oleh Karinding Attack dan pada gilirannya
menginspirasi kelompok-kelompok lainnya untuk bersama-sama bangkit. Karinding
pun menyebar di kawasan Sumedang, Garut, Cicalengka, Rancaekek, Ujungberung,
Bandung, Lembang, Ciwidey, Subang, Cimahi, Batujajar, Cililin, Cianjur,
Sukabumi, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Karawang. Kini dalam berbagai
pergelaran music metal di seluruh Indonesia sudah tak asing lagi para pemuda
metal di Sumatera, Jawa, Kalimantan, atau Sulawesi yang tampak mengenakan iket
Sunda dan membawa-bawa kariniding.
Dua komitmen tak kalah penting yang dilakukan
Karinding Attack adalah digelarnya program pengajaran karinding Kelas Karinding
atau Kekar dan penulisan buku sejarah karinding. Kekar digarap oleh Hendra
Attack di Common Room dan Gedung Indonesia Menggugat, dan kini menyebar semakin
luas di berbagai seklah dan komunitas karinding. Sementara itu buku sejarah
karinding yang diterbitkan berjudul Jurnal Karat Ujungberung Rebels,
karya Kimung. Terbit tanggal 20 Oktober 2011, bisa dikatakan buku ini adalah
kisah sejarah karinding pertama yang pernah diterbitkan. Jurnal Karat
adalah jurnal harian Kimung dan segala yang ia lakukan bersama Karinding Attack
dalam rangka membangkitkan kembali seni karinding. Untuk buku sejarah karinding
yang lebih umum, Kimung juga sedang menulis buku Sejarah Karinding Priangan
yang akan diterbitkan segera.
Pembangunan basis perekonomian yang bervisi kesejahteraan
para pengrajin bambu juga adalah wacana yang sering digulirkan di Karinding
Attack, terutama oleh Okid Gugat. Okid yang mengelola distro Remains Rottrevore
serta label musik metal Rottrevore Records ini senantiasa mengungkapkan bahwa
maraknya percaloan di kalangan para pengrajin setidaknya adalah hal yang
menyebabkan kerajinan bambu di mayoritas kawasan Jawa Barat cenderung mati
suri. “Bayangkan, karinding dari pengrajin paling dibeli dengan harga sekitar
sepuluh sampai tiga puluh ribu, para calo kemudian menjualnya dari harga lima
puluh ribu sampai seratus ribu. Sebetulnya itu sih hak para calo atau
distributor mau jual seratus ribu atau bahkan sampai dua juta juga. Masalahnya
setelah mereka mendapatkan keuntungan, masihkah mereka ingat pada nasib para
pengrajin?” Karenanya yang ia lakukan adalah merancang berbagai upaya
kesejahteraan pengrajin sekaligus membangun kebanggaan dalam diri pengrajin dan
memutus jalur percaloan dengan menghubungkan para pengrajin langsung dengan
dunia luar. Dalam atmosfer kehidupan yang terjamin, ketersediaan karinding atau
waditra-waditra lain di pasaran akan senantiasa siap sedia.
Karinding juga menjadi ranah penelitian yang eksotis
bagi beberapa kaum muda di ranah komunitas independen Bandung. yang berhasil
dicatat oleh Minor Books dan Bandung Oral History, setidaknya sudah ada
beberapa anak muda yang secara intens meneliti karinding. Dua di antaranya
adalah Dian AQ Maulana seorang mahasiswa sejarah Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), juga tergabung dalam kelompok belajar sejarah lisan Bandung
Oral History (BOH), yang kini sedang menyusun skripsi bertema karinding di
Bandung dan sekitarnya dan Iyang juga dari BOH yang meriset penulisan biografi
Abah Olot dan Giri Kerenceng. Karinding juga menjadi sarana eksplorasi kelompok
atau komunitas mahasiswa seperti yang dilakukan komunitas film United Record
Pictures atau Under berbasis di kampus Universitas Komputer Indonesia (Unikom)
yang digawangi Kapten Jeks dan Fajar Alamsyah, juga kelompok mahasiswa
jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran dengan radio dan televisi kampusnya.
Tanggal 22 Juni 2010, United dengan sutradara Kapeten Jeks merampungkan syuting
video klip “Hampura Ma II” Karinding Attack. Ini bisa jadi adalah video klip
musik karinding pertama yang pernah dibuat di dunia.
Ini tentu adalah modal besar dalam membangun tatanan
sosial dan budaya yang lebih sadar akan identitas dirinya sendiri di percaturan
budaya global sehingga karakter dan metalitas individu yang terbangun semakin
kuat dan membumi demi terbangunan tata sosial yang lebih baik, aktual,
inklusif, serta integratif.
Cara Memainkan
Karinding disimpan di bibir, terus tepuk bagian
pemukulnya biar tercipta resonansi suara. Karindng biasanya dimainkan secara
solo atau grup (2 sampai 5 orang). Seroang diantaranya disebut pengatur nada
anu pengatur ritem. Di daerah Ciawi, dulunya karinding dimainkan bersamaan
takokak (alat musik bentuknya mirip daun).
Secara konvensional menurut penuturan Abah Olot nada
atau pirigan dalam memainkan karinding ada 4 jenis, yaitu: tonggeret,
gogondangan, rereogan, dan iring-iringan..
Fungsinya
Karinding yaitu alat buat mengusir hama di sawah. Suara yang dihasilkan dari getaran jarum karinding biasanya bersuara rendah low decible. Suaranya dihasilkan dari gesekan pegangan karinding dan ujung jari yang ditepuk-tepakkan. Suara yang keluar biasanya terdengar seperti suara wereng, belalang, jangkrik, burung, dan lain-lain. Yang jaman sekarang dikenal dengan istilah ultrasonik. Biar betah di sawah, cara membunyikannya menggunakan mulut sehingga resonansina menjadi musik. Sekarang karinding biasa digabungkan dengan alat musik lainnya.Bedanya membunyikan karinding dengan alat musik jenis mouth harp lainnya yaitu pada tepukan. Kalau yang lain itu disentil. Kalau cara ditepuk dapat mengandung nada yang berbeda-beda. Ketukan dari alat musik karinding disebutnya Rahel, yaitu untuk membedakan siapa yang lebih dulu menepuk dan selanjutnya. Yang pertama menggunakan rahèl kesatu, yang kedua menggunakan rahel kedua, dan seterusnya. Biasanya suara yang dihasilkan oleh karinding menghasilkan berbagai macam suara, diantaranya suara kendang, goong, saron bonang atau bass, rhytm, melodi dan lain-lain. Bahkan karinding bisa membuat lagu sendiri, sebab cara menepuknya beda dengan suara pada mulut yang bisa divariasikan bisa memudahkan kita dalam menghasilkan suara yang warna-warni. Kata orang tua dahulu, dulu menyanyikan lagu bisa pakai karinding, Kalau kita sudah mahir mainkan suara karinding, pasti akan menemukan atau menghasilkan suara buat berbicara, tetapi suara yang keluar seperti suara robotik.
Catatan Tambahan :
Di Desa Beji, Gunungkidul, sekitar 45 kilometer dari
Yogyakarta, orang menyebut karinding dengan nama rinding. Berbeda dengan
karinding di Jawa Barat yang umumnya dipukul atau ditoel, rinding dimainkan
dengan cara disintir. Seutas tali diikatkan di ujung sebelah kanan dan kita
menarik-narik tali itu untuk memainkannya. Siswanto Tukimin, pemain rinding
mengungkapkan jika kekuatan hembusan napas dari mulut sangat membantu membangun
suara rinding. Ini jelas berbeda dengan karinding Jawa Barat yang cenderung
menggunakan bentuk dinding-dinding mulut dan bukaan kerongkongan untuk
membangun suara karinding.
Muhammad Kasno, tetua Desa Beji mengatakan, rinding
adalah hasil kreasi nenek moyang Beji bernama Onggoloco. Tokoh ini adalah salah
satu patih Kerajaan Majapahit yang melarikan diri ke Gunungkidul. Ia beserta
pengikutnya membuka hutan dan menetap di Desa Beji sebagai petani. Oleh
Onggoloco, rinding dimainkan dalam pesta rakyat untuk menyambut panen padi.
Setahun sekali, penduduk Beji juga punya tradisi sadranan untuk menghormati
Onggoloco. Dalam pertunjukannya di Gunungkidul, rinding tampil bersama gubeng.
Kombinasi permainan ini namanya Rinding Gubeng.
Album Karinding Attack Gerbang Kerajaan Serigala
mungkin adalah rekaman lagu-lagu karinding pertama yang pernah direkam dan
dirilis dalam format satu album musik yang berkomitmen hanya memainkan
karinding dan waditra bambu lain yang biasa mengirinya. Pun dengan
konser Gerbang Kerajaan Serigala ini sepertinya juga adalah konser musik
karinding secara khusus yang pernah digelar di dunia.
ABAH OLOT
MELESTARIKAN KARINDING
Endang Sugriwa
alias Abah Olot meyakini, alat musik tradisional sebagai bagian dari kebudayaan
suatu suku atau bangsa harus dilestarikan. Ini demi kebertahanan identitas
masyarakat suku atau bangsa tersebut. Tahun 2003, ketika karinding, alat musik
tradisional Sunda, dikabarkan punah, ia terperangah. ”Saya punya tanggung
jawab,” katanya.
Serangga sawah menyingkir apabila karinding berbunyi
Abah Olot merasa berkewajiban mencegah kepunahan
karinding. Sejak dari kakek buyutnya, keahlian membuat dan memainkan karinding
diwariskan dalam keluarga. Ia lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai perajin
mebel kayu dan bambu di Cipacing, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia kembali
untuk menekuni warisan keluarga.
”Saya generasi selanjutnya yang mewarisi keahlian itu
setelah ayah saya (Abah Entang) tidak bisa lagi membuat karinding karena
matanya rabun,” kata Abah Olot di Desa Cimanggung, Kecamatan Parakan Muncang,
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Di rumah bambu itu, Abah Olot dibantu lima perajin
membuat karinding dan alat musik lain berbahan bambu. Pada ambin di teras rumah
tersimpan seperangkat instrumen, berupa celempung (sejenis kecapi), toleat
(seperti seruling), dan kokol (mirip kulintang). Instrumen itu
digunakan grup musik tradisional Giri Kerenceng pimpinan Abah Olot.
Semua alat musik tradisional itu hampir punah. Namun,
yang menjadi perhatian utamanya adalah karinding. Alasannya, hanya sedikit warga
yang bisa membuat karinding.
Karinding mulanya terbuat dari pelepah aren dengan
panjang 10-20 sentimeter. Namun dalam perkembangannya, pelepah aren semakin
langka karena banyak warga yang menebangi pohon aren. Alasan mereka, pohon itu
tidak lagi berbuah. Maka dari itu, pelepah aren pun terbuang, tidak sempat tua
dan mengering.
Bambu lalu menjadi bahan utama karinding. Syaratnya,
umur bambu minimal dua tahun. Bambu dipotong, dihaluskan, dan dibagi menjadi
tiga ruas.
Ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan
menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang
dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Agar bisa
menimbulkan suara, ruas tengah karinding diletakkan di mulut, diapit bibir atas
dan bawah.
Sekilas bunyi karinding serupa lengkingan serangga di
sawah. Bunyi itu berasal dari resonansi di mulut saat karinding digetarkan.
Untuk mengatur tinggi-rendah nada, pemain harus lincah mengatur napas dan
ketukan jari. Alat semacam itu juga ada di Bali, disebut genggong. Namun, cara
memainkannya berbeda. Genggong ditarik benang.
Abah Olot bercerita, karinding mulai jarang dimainkan
selepas tahun 1970-an. Maraknya alat musik modern memengaruhi selera musik
masyarakat sampai ke kampung. Karinding, yang dahulu sering dimainkan pada
acara pernikahan atau sunatan, mulai menghilang.
Tahun 1940-1960-an, karinding akrab dalam kehidupan
masyarakat Sunda. Karinding dimainkan untuk menghibur petani seusai memanen
padi atau saat menjemur hasil panen. Malam harinya karinding dimainkan sebagai
wujud sukacita atas hasil panen.
”Karinding juga dimainkan petani saat menjaga sawah.
Serangga sawah menyingkir apabila karinding berbunyi,” katanya.
Memasuki era 1990-an, karinding seperti ditelan bumi.
Minimnya publikasi tentang karinding menjadi salah satu faktor redupnya alat
musik tradisional itu. Karinding hanya lestari dalam sejumlah kecil keluarga,
termasuk keluarga Abah Olot.
Sejak usia 7 tahun, Abah Olot belajar memainkan dan
membuat karinding dari ayah dan pamannya. Keahlian itu dia tinggalkan saat
beranjak dewasa. Abah Olot sempat menjadi pengojek dan perajin mebel sebelum
meneruskan warisan keahlian keluarga.
”Istilahnya ulah kasilih ku junti, jangan
melupakan adat-istiadat,” katanya.
Mulai bangkit
Namun, membangkitkan karinding tak mudah. Bunyi
karinding dianggap tak sesuai dengan perkembangan musik. Saat awal membuat
karinding, Abah Olot memberikan cuma-cuma kepada siapa pun yang mau menerima.
Ajakannya kepada pemuda di kampung untuk memainkan
karinding ditolak. ”Orang tua dan anak muda beranggapan tak ada gunanya
memainkan karinding,” katanya.
Namun, Abah Olot terus mempromosikan karinding ke
berbagai daerah. Tahun 2008, pada perayaan ulang tahun Kota Bandung, dia
bertemu komunitas kreatif kaum muda Bandung yang tergabung dalam Commonrooms.
”Mereka minta suplai karinding untuk dimainkan di
depan publik,” kata Abah Olot.
Pada tahun yang sama dibentuk kelompok musik Karinding
Attack beranggota delapan orang. Personel Karinding Attack bukan seniman tradisional
Sunda. Mereka berasal dari komunitas musik underground dan death metal yang
sering dianggap ”budak baong” (anak nakal). Abah Olot justru mengajari mereka
memainkan karinding.
Hasilnya, pada berbagai pertunjukan musik cadas dan
punk, seperti Bandung Deathmetal Festival pada Oktober 2009, karinding turut
tampil. Bermula dari komunitas death metal, karinding mulai populer di kalangan
kaum muda.
Banyak di antara mereka lalu tertarik dan ingin
belajar memainkan karinding. Maka, setiap Rabu dan Jumat, di tempat Abah Olot
dibuka latihan bagi mereka yang ingin belajar karinding.
Kini, satu karinding dihargai Rp 50.000. Pesanan
karinding mulai mengalir, bahkan pernah dalam sepekan Abah Olot harus memenuhi
pesanan 100 karinding.
Alat musik tradisional yang sempat dikhawatirkan punah
itu kembali mewabah. Hampir semua daerah di Jawa Barat mempunyai kelompok musik
karinding. Pemainnya bukan orang tua, tetapi anak muda dengan kreasi lagu
modern.
Nama kelompok mereka pun ”segar”, seperti Markipat
(kependekan dari Mari Kita Merapat), Karmila (singkatan dari Karinding
Militan), Republik Batujajar dari Kabupaten Bandung Barat, dan Karinding
Skateboard yang dimainkan komunitas skateboard.
Karinding juga dimainkan dalam Bandung World Jazz
Festival, Desember 2009. Meski bisa dikatakan tidak lagi dimainkan di sawah,
karinding justru mencuat pada festival jazz dunia diiringi musik elektrik dan
instrumen modern, seperti gitar, terompet, dan drum. Maka, mengalunlah
lagu-lagu Sunda dalam harmoni jazz dan karinding.
Di balik semaraknya kembali karinding, ada Abah Olot
yang tetap setia di ”bengkelnya”. Dia tetap tekun menghaluskan bambu dan
menjaga identitas masyarakat Sunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar